Selasa, 10 Juni 2008

Jangan Salah Kelola "Usia Emas" Tidak mendapatkan pendidikan pada usia dini berbahaya, tapi mendapatkanpendidikan yang salah justru lebih berbahaya. Usia 0-6 tahun adalah masa-masa emas dalam perkembangan kehidupan setiap orang. Karena itu, pendidikan pada usia ini sangat penting dilakukan. Pendidikan usia tersebut bahkan menjadi dasar bagi pendidikan dan perkembangan anak selanjutnya.Pentingnya pendidikan anak pada usia tersebut telah diakui pemerintah. Hal ini misalnya dilihat dari terbitnya Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang juga mengatur tentang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pasal 28 UU ini misalnya menegaskan, pendidikan anak usia dini adalah pendidikan yang diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar (0-6 tahun). PAUD diselenggarakan melalui jalur formal (berbentuk taman kanak-kanak, raudatul athfah, dan bentuk lain sederajat), nonformal (kelompok bermain, taman penitipan anak, dan bentuk lain), daninformal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan olehlingkungan).Walau penting, tapi PAUD belum mendapat perhatian memadai. Hal itu diakui Direktur PAUD Departemen Pendidikan Nasional, Gutama. "Perhatian terhadap pendidikan anak usia dini memang termasuk terlambat dan belum sebesar terhadap pendidikan tingkat SD dan SMP," ujarnya.Namun demikian, pertumbuhan dan perkembangan PAUD terus meningkat. Jumlah lembaga yang menangani PAUD terus bertambah. Demikian juga jumlah peserta meningkat. Dari 28 juta anak usia dini, kata Gutama, yang telah terlayani oleh pendidikan formal maupun nonformal mencapai 13,7 juta anak, atau 48,3 persen dari total jumlah anak usia dini. Anggaran yang digelontorkan untuk PAUD nonformal juga terus meningkat. Pada tahun 2007 misalnya total anggaran untuk PAUD mencapai Rp221 miliar, dan meningkat pada tahun 2008 menjadi Rp430 miliar. Walau jumlah itu terus bertambah, tapi seperti diakui Gutama, anggaran itu belum memadai. "Dana itu belum cukup. Tapi, apa pun yang terjadi, ada dana atau tidak, pendidikan anak usia dini harus tetap jalan," kata Gutama.Pendidikan anak usia dini memang harus tetap berjalan. Anak bangsa ini tidak dapat bersaing dalam fora internasional tanpa dibekali pendidikan dini yang memadai. Bandingkan saja dengan Amerika Serikat yang telah menerapkan pendidikan anak usia dini sejak sekitar 50-an tahun yang lalu. Negara ini telah memiliki kurikulum Multiinteligence, yang ramai diadopsi oleh lembaga pendidikan usia dini di Indonesia saat ini. Dalam berbagai keterbatasan tersebut, kata Gutama, Direktorat PAUD terus melakukan berbagai terobosan. Selain melakukan sosialisasi akan pentingya PAUD, Diknas juga terus menggalang berbagai kerja sama dengan para pihak, masyarakat, pemerintah daerah, serta perusahaan. Kerja sama itu misalnya dilakukan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berbagai organisasi wanita seperti PKK, Kowani, dan organisasi wanita lainnya. Untuk memperluas jangkauan, Direktorat PAUD juga memberdayakan Posyandu yang ada di setiap wilayah, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagaikelompok belajar seperti anggota Sekolah Minggu, kelompok Remaja Masjid, dan sebagainya. Diknas juga mengajak perusahaan melalui program pengembangan masyarakat (community development) untuk mendirikan tempat penitipan anak dan sebagainya. Untuk memberdayakan para pendidik,Direktorat PAUD juga mendirikan forum yang diberi nama Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUD). Diharapkan, sosialisasi dan kerja sama tersebut dapat meningkatkan jumlah anak yang terjaring dalam PAUD yang pada tahun 2009 ditargetkan mencapai 53,9%. Target ini meningkat dari tahun 2007 (48,3%). Standar PAUD Selain perluasan jangkauan anak yang terjaring dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), hal yang sangat penting dilakukan adalah memperbaiki kualitas lembaga pendidikan anak usia dini. Untuk menjamin kualitas PAUD itulah, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) kini sedang menyusun draf Standar PAUD non-formal. Draf itu sementara dalam proses uji publik.Menurut Ketua Tim Ad Hoc Penyusunan Standar PAUD Endang Ekowarni, penyusunan standar PAUD itu sangat dibutuhkan untuk mengukur kualitas minimal yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan anak usia dini. "Standar ini disusun bukan untuk menghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi untuk memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan mencapai standar minimal yang diharapkan," katanya.Komponen standar pendidikan anak usia dini kata dosen psikologi Universitas Gadjah Mada ini, terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.Standar yang disusun bukan merupakan standar kelulusan. Tetapi standar tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap yang harus dicapai anak secara sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal," ujarnya.Dosen psikologi Universitas Indonesia sekaligus pengelola Taman Kreativitas Anak Indonesia, Rosemini mengatakan, standar tersebut sangat dinantikan masyarakat pengelola PAUD selama ini. Selain dapat meningkatkan mutu, juga dapat menjadi indikator mutu pendidikan anak usia dini yang terus bertumbuh."Selama ini mutu pendidikan anak usia dini sulit dievaluasi karena tidak memiliki indikator yang jelas. Karena itu, standar itu sangat dibutuhkan untuk mengetahui pencapaian pendidikan anak usia dini," ujarnya. Menurut Endang, target penyusunan standar PAUD akan rampung pada Mei mendatang, untuk selanjutnya disahkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional। Ia berharap, standar minimal ini dapat menjadi acuan untuk dapat memastikan mutu dan pelayanan standar yang harus dipenuhi oleh lembaga pengelola pendidikan anak usia dini.Dengan diberlakukannya standar PAUD, Gutama berharap pengelola PAUD memiliki acuan yang jelas serta mutu yang semakin meningkat. "Tidak mendapatkan pendidikan pada usia dini memang berbahaya. Tapi juga mendapatkan pendidikan yang salah justru lebih berbahaya," ujar Gutama.

Rabu, 28 Mei 2008

CALISTUNG DI TK

CALISTUNG DI TAMAN KANAK-KANAK

BOLEH KAH ?

Hakikat Calistung di TK

Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apa pun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan.

Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum.

Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.

Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar.

Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada “larangan belajar calistung”, namun tidak banyak orang memahami alasannya. Padahal perkembangan dalam pembelajaran di era informasi sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh berubah. Topik pelajaran bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada usia berapapun, untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara belajar, disesuaikan dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya masing-masing sehingga terasa menyenangkan dan membangkitkan minat untuk terus belajar.

Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan.

Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.

Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal.

Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.

Dampak Pembelajaran Calistung terhadap Anak Usia Dini

Pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk kesalahan terbesar yang diterapkan sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada usia dini, pengajaran calistung justru akan membatasi interaksi siswa dengan lingkungan. Meskipun begitu, ia pun mengatakan, jika keinginan belajar calistung datang dari diri anak secara langsung, hal itu sah-sah saja.

Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.

Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar.

Era globalisasi menuntut dipersiapkannya individu dengan ciri pribadi unggul dengan memberikan berbagai rangsang mental yang kaya sejak usia dini. Ini tentu tidak dilakukan hanya dengan sekadar memaksa mereka untuk menguasai kemampuan skolastik secara timpang pada usia yang terlalu pagi. Namun lebih pada upaya merangsangnya secara terpadu dan seimbang pada seluruh kemampuan anak sesuai dengan kecepatan dan keunikannya masing-masing. Baik dari segi kognitif, segi afektif dan segi psikomotorik mereka.

Anak-anak yang dipaksakan menerima berbagai konsep abstrak dengan cara yang tidak menyenangkan pada usia dini, kecuali tidak akan banyak bermanfaat juga bahkan akan merusak semangat belajarnya yang alamiah.

Mereka cenderung akan berkembang secara timpang hanya dalam salah satu aspek, namun tidak dapat berkembang optimal sebagai suatu pribadi yang utuh.

Sementara menghadapi era globalisasi yang penuh dengan berbagai tantangan dan persaingan ketat justru dibutuhkan tumbuhnya individu dengan ciri pribadi unggul yang selain cerdas, kreatif dan disiplin, juga memiliki berbagai sifat sebagaimana tertuang dalam Asta Citra Anak Indonesia: iman dan taqwa, hormat kepada orangtua, jujur, optimis, cinta tanah-air dan sebagainya.

Hal ini hanya bisa terwujud apabila sejak usia dini anak justru tetap berada dalam kodratnya sebagai anak-anak, bukan sebagai orang dewasa ukuran saku

Solusi Tepat Pembelajaran Calistung di TK

Ada beberapa solusi yang bisa dikembangkan oleh Lembaga Taman Kanak-kanak untuk memberikan pembelajaran calistung kepada anak didiknya. Larangan calistung pada anak usia dini perlu di pahami sebagai motivasi dan tantangan bagi praktisi di PAUD untuk lebih mengembangkan dan mengemas pembelajaran di PAUD agar sesuai dengan tingkat perkembangan anak, termasuk pembelajaran calistung.

Sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.

Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.

Demikian halnya dengan pelajaran berhitung. Mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan yang mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru bisa mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat bilangan.

Maria Montessori dan Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode belajar membaca dan matematika bagi anak-anak usia dini. Maria Montessori, seorang dokter wanita pertama dari Italia, telah mempraktikkan pembelajaran multiindrawi lewat kegiatan sehari-hari. Pengalaman tersebut diperolehnya setelah menangani anak-anak bermental terbelakang. Lewat kegiatan-kegiatan sederhana yang diulang setiap hari, sebagian besar anak-anak itu mengalami kemajuan yang pesat. Mereka bahkan bisa membaca dan menulis pada usia yang relatif muda, sekitar 4 dan 5 tahun tanpa harus merasa terbebani.

Montessori menciptakan alat-alat belajar dari benda-benda yang akrab di sekeliling kita. Ia membuat alat belajar seperti perlengkapan bermain. Untuk mengajar anak-anak membaca, ia membuat berbagai macam kartu huruf dari papan kayu atau kertas tebal. Setiap huruf dicetak dari kertas ampelas yang cukup kasar. Selain anak-anak membunyikan huruf-huruf tersebut, mereka juga merabanya untuk membentuk kepekaan terhadap tekstur huruf. Kartu-kartu berisi kata bergambar yang dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kata juga menjadi alat belajar yang menarik bagi anak-anak.

Glenn Doman adalah contoh lain pendobrak teori perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter bedah otak. Ia berhasil membantu menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera otak lewat flash card. Ia membuat kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna merah pada karton tebal, dengan ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu ditampilkan di hadapan si pasien dalam waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya perkembangan pada otak pasiennya membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak bahkan bayi.

Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa saja anak-anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan ketika diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya.

Kritik terhadap flash cards memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli psikologi. Hal itu disebabkan flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional, merusak pembelajaran nalar dan logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan kemampuan membaca menurut para psikolog dan orang pada umumnya harus diproses melalui tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal huruf dan mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah kata.

Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan, betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca dengan pendekatan tersebut.

Mengembangkan kemampuan para pendidik PAUD untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya.